• Headline

    Maukah Kamu Mencintaiku?


    Siang itu turun hujan. Sudah lama pula hujan tak kunikmati sambil memejamkan mata. Tanganku terbuka lebar dan mengadah ke langit. Merasakan butir-butir karunia-Nya yang tak pernah habis kuterima. Ah, betapa bahagianya aku siang itu. Yang biasanya terik, kini membuat tanah menjadi basah dan dedaunan tak lagi resah. Begitupun aku, hujan membuat senyumku semakin merekah.

    Tak lama, hujan seakan berhenti. Pikirku terlalu sebentar hujan membersamai siang itu. Ah, bukan! Ternyata seseorang datang memayungiku. Dialah orang yang selalu bertemuku setiap hari. Pria yang selalu bertopi, si pemilik senyum manis, tapi sangat menyebalkan.

    “Hanin!” panggil Raihan yang berlari dari kejauhan, kemudian ia memayungiku.

    “Jangan buat hujan ini berhenti, Rai..” jawabku masih sambil memejamkan mata.

    “Aku tau kamu suka hujan, tapi hujan selalu membuatmu sakit ‘kan?” kata Reihan menasihati.

    Mataku terbuka. Memang terkadang apa yang kita sukai, itulah yang selalu membuat kita sakit. Pun entah kesambet apa sampai akhirnya Raihan berbicara seperti itu. Padahal, sejak kecil kami sering sekali menghabiskan waktu dengan bermain hujan bersama-sama. Mungkin karena kami sudah dewasa, bermain hujan-hujanan bukan lagi hal menarik untuknya. Tapi bagiku tidak, aku selalu senang sehabis bermain bersama hujan. Meskipun hujan memang selalu membuatku pusing.

    “Ini, aku bawakan handuk untuk mengeringkan badanmu,” kata Raihan sambil menyodorkan handuk kuning kesukaanku.

    “Dari mana kamu tau kalau aku sedang di sini?” tanyaku sambil mengeringkan badan.

    “Kamu selalu ke taman ini untuk menghabiskan waktu bersama hujan. Aku sangat hafal itu,” kata Raihan.

    “Rai, mengapa kamu jadi aneh sekali akhir-akhir ini?” tanyaku heran.

    Raihan adalah sahabatku yang paling cuek. Kami sudah bersahabat sejak kecil karena orang tua kami pun bersahabat sejak mereka di bangku perkuliahan. Ya, sudah 22 tahun lamanya. Entah mengapa kini Raihan mulai perhatian. Semenjak kami mendengar wacana bahwa kami akan dijodohkan.

    Mengenai hal itu tentu aku tidak setuju. Sebab, menurutku persahabatan itu menempati hati yang berbeda dengan cinta. Jika keduanya hadir bersamaan, aku tak tau di mana posisi perasaan itu. Kurasa keduanya sangat sulit untuk disatukan. Tapi entahlah, apakah Raihan menerima perjodohan itu atau tidak. Yang jelas, kami belum membicarakan itu secara empat mata.

    “Nin, maaf ya kalau aku jadi berubah gini,” kata Raihan sambil menunduk dan memulai percakapan mengenai perjodohan itu.

    “Iya, aku tau kamu berubah. Tapi kenapa? Kamu setuju dengan perjodohan itu?” tanyaku penasaran.

    “Aku hanya tidak ingin persahabatan kita berakhir,” kata Raihan cemas.

    “Tapi menikah akan membuat persahabatan kita berakhir, Rai..” jawabku padanya.

    “Kata siapa?” tanya Raihan.

    “Sebentar.. Kamu sedang tidak mencintaiku ‘kan, Rai?” tanyaku lagi.

    “Tidak, aku bahkan bisa menempatkan diriku sebagai sahabatmu selama 21 tahun ini,” jawab Raihan dengan tegas.

    “Lalu kenapa kamu anggap menikah itu akan menyatukan kita?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.

    “Coba kamu lihat kisah ayahku dan ibumu, mereka tetap bersahabat meski mereka tidak menikah, ‘kan? Bagaimana jika kita menikah, persahabatan kita justru akan semakin erat, Nin..” jelas Raihan meyakinkanku.

    “Raihan, tapi kita sudah terlalu lama bersahabat.. Apa mungkin kita mengubah itu semua menjadi sebuah cinta?” tanyaku ragu.

    “Kalau kita berdua sama sama yakin, tidak ada yang mustahil untuk kita,” kata Raihan.

    “Kalau begitu, bukankah kita ini hanya pelampiasan dari cinta ayahmu dan ibuku yang tak bisa bersatu? Lantas kenapa kita mau?” tanya Hanin.

    “Tak semua pelampiasan itu buruk, Hanin.. Tergantung dari kita mau menganggapnya sebuah kebaikan atau keburukan,” jawab Raihan. “Kamu juga perlu tau, setiap orang punya cerita yang berbeda. Kita juga takkan merasakan cerita yang sama seperti mereka,” lanjutnya.

    “Jadi?” tanyaku bingung.

    “Itulah mengapa aku mulai mengubah sikapku padamu. Aku ingin belajar bagaimana mencintaimu seutuhnya, lebih dari seorang sahabat,” jawab Raihan.

    Aku terdiam beberapa saat sambil berpikir. Ucapan Raihan ternyata ada benarnya juga.

    “Oh, jadi itu alasanmu berubah akhir-akhir ini… Kurasa kita ini manusia yang paling aneh di dunia ya, Rai,” kataku sambil mencoba mengukir senyum di bibir.

    “Loh, kenapa begitu?” tanya Raihan heran.

    “Biasanya, persahabatan antara perempuan dan laki-laki itu berakhir karena salah satu atau keduanya saling mencintai. Sedangkan kita, dipaksa saling mencintai padahal keduanya saling tidak ingin mencintai satu sama lain, hahaha. Lucu ya,” kataku sambil tertawa kecil.

    “Jadi, kamu mau mulai mencintaiku, Nin?” tanya Raihan padaku, sambil menatap mataku dengan dalam.

    Seketika tatapan Raihan berubah seperti sedang tidak menatap sahabatnya. Tak sengaja bibirku mulai tersenyum lebar. Aku menunduk malu. Apakah aku sudah mulai menerima kehadirannya sebagai sesuatu yang baru? Ah sudahlah, soal itu biar Tuhan yang jawab. Tapi, tatapan Raihan itu membuat jantungku berdebar hebat. Apa ini pertanda?

    Bibirku mulai pucat dan jariku mulai keriput. Hujan pun sudah berhenti dan matahari mulai muncul kembali. Aku yang basah kuyup itu tak nyaman karena baju yang basah. Lalu dengan pekanya Raihan mengajakku pulang ke rumah. Sambil memberikan jaket denimnya padaku, kami pulang dengan perasaan yang berbeda. Entah apa itu namanya.

    13 comments: