Lebaran Bersama Pasien
Foto/dokumentasi pribadi. |
Pukulan beduk mulai terdengar, takbir pun menggema di seluruh pelantang masjid pertanda Idulfitri telah tiba. Suasana tersebut juga terasa di Perumahan Bukit Cimanggu City, Bogor. Aku dan keluarga dengan semangat melangkahkan kaki menuju tempat salat Idulfitri, yaitu di lapangan besar Masjid Al-Makkah.
Momen berlebaran menjadi sangat penting untuk semua muslim. Bukan hanya merayakan hari besar Islam, melainkan juga menjadi ajang silaturahmi keluarga. Apalagi di Indonesia terdapat budaya membagi Tunjangan Hari Raya (THR) yang membuat suasana kumpul keluarga menjadi lebih meriah. Selain itu, berlebaran juga identik dengan makan besar. Di sana lah berbagai menu makanan tersaji di meja makan si penjamu tamu undangan.
Kali ini penjamu lebaranku adalah kakak sepupuku. Selepas nenek meninggal, rumah nenek bukan lagi menjadi tempat utama kami untuk berlebaran. Jadi, setiap lebaran tiba kami menentukan rumah siapa yang akan menjadi tempat berkumpul keluarga besar dari Mama. Namun, lebaran kali ini terasa berbeda dari lebaran di tahun-tahun sebelumnya. Mengapa?
Sebelum lebaran tiba, Mama memang terlihat lebih gesit dari biasanya. Ia pergi ke sana-kemari untuk membantu temannya berjualan kue lebaran. Selain itu, ia juga harus menyiapkan kue untuk di rumah dan juga memasak menu utama lebaran seperti opor dan rendang. Tak hanya itu, saat bulan Ramadan pun ia selalu bangun pukul 3.00 untuk menyiapkan makan sahur dan tak pernah tidur selepas salat subuh.
“Sa, pijitin mama ya,” kata perempuan yang hampir setengah abad itu setiap menjelang tidur. Mama memang orang yang giat bekerja, tapi raut kelelahan tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Itulah yang membuatnya sakit di hari lebaran. Sepulang dari makam nenek dan kakek, ia terlihat lemas di ujung sofa, lalu tertidur pulas.
Ketika hendak pulang, ia meminta untuk tidak pulang dengan motor. “Mama gak kuat, pusing banget nih,” katanya. Wanita yang tak pernah mengeluh itu tiba-tiba tidak seperti biasanya. Ia memintaku untuk pesan taksi online sore itu. Namun sayang, tak ada sopir yang bersedia untuk mengangkut kami pulang. Akhirnya kami tetap pulang dengan dua motor.
Di pertengahan jalan menuju pulang, Mama memintaku untuk mengantar sebentar ke rumah sakit. Ia hanya ingin periksa dan segera meminta obat karena besok masih ada agenda berkunjung ke rumah besan. Namun siapa sangka, dokter justru menyuruhnya untuk istirahat dan menginap di rumah sakit.
“Ibu dirawat dulu ya, ternyata tifusnya tinggi,” kata dokter yang rambutnya sudah putih. Baru kali ini aku merasakan lebaran di rumah sakit. Tak sebentar, ternyata mama harus dirawat selama empat hari tiga malam. Papa, Abang, dan Adik pun bergantian menjaga mama di rumah sakit, sementara aku tetap tinggal di rumah untuk mengurus kebutuhan rumah seperti mencuci baju, mencuci piring, membersihkan rumah, dsb.
Dari pengalaman tersebut aku belajar bahwa yang terlihat kuat tidak selamanya kuat. Sekuat apapun tenaga pasti akan tumbang juga. Yang terpenting adalah untuk selalu bersyukur atas kesehatan yang diberikan oleh Tuhan. Terlebih dari sana lah aku semakin sadar bahwa pengorbanan seorang ibu sangatlah besar, demi keluarganya dan demi anak-anaknya.
No comments