• Headline

    Aku dan Medsosku (Bagian 1)

    Foto/Unsplash.com. Ilustrasi media sosial.

    Namaku Sunny, artinya matahari. Kata mama, aku dilahirkan tepat pada saat cahaya matahari mulai terbit di pagi hari. Mama dan papa berharap, aku bisa menjadi penerang bagi siapapun yang terperangkap dalam kegelapan hidup. Ya, semoga impian mereka bisa tercapai.

    Aku memiliki dua orang sahabat, ialah Reina dan Senja. Di antara kami bertiga, akulah yang paling keras kepala. Kata orang yang belum mengenalku, aku ini orang yang pendiam, tapi bagi mereka yang sudah mengenalku mungkin ucapannya berbanding terbalik. Itulah mungkin mengapa muncul ungkapan “Jangan melihat seseorang dari sampulnya,” kurasa itu benar adanya.

    Walaupun sikap di antara kami sangat berbeda, kami bertiga sering sekali tak terpisahkan, Aku dengan hobiku yang aktif di sosial media dan kadang tak acuh dengan lingkungan. Reina dengan sifat pendiam dan hobi membacanya menjadi salah satu sebab mengapa ia terlihat cerdas daripada kami berdua. Berbeda lagi dengan Senja yang selalu aktif di luar kampus, membuatnya begitu pandai berbicara di depan umum.

    Suatu hari, kami bertiga berdiskusi di perpustakaan. Aku sambil memegang buku agendaku, Reina dengan buku bacaannya, dan Senja dengan laptop kesayangannya. Tiba-tiba Senja bertanya padaku.

    “San, kenapa kamu suka sekali mengumbar keseharianmu di blogmu itu?” tanya Senja saat membuka blogku pagi itu.

    “Memangnya ada yang salah?” jawabku ketus.

    “Ya… tidak. Tapi kan tidak semua hal harus kautulis. Benar begitu?” tanya Senja.

    “Terserah aku lah! Itukan blogku,” jawabku sedikit kesal.

    “Mungkin maksud Senja, posting yang baik-baik saja, jangan tulis kejelekan orang juga di sana, San. Aku sudah baca tulisanmu yang kesal dengan gebetanmu itu, ya menurutku itu juga tidak penting,” kata Reina tanpa berpaling dari bukunya.

    “Tapi aku ‘kan dengan sakit hati dengan dia, memangnya salah jika aku mengutarakannya melalui tulisan? Kalian ini bukannya mendukung malah menyudutkanku!” kataku sambil marah.

    “Bukan begitu, tapi…” kata Senja, lalu aku memotong omongannya.

    “Sudahlah, aku mau ke kelas. Sebentar lagi masuk,” jawabku, lalu aku langsung merapikan alat tulisku ke dalam tas.

    “Baiklah, ayo kita kembali ke kelas,” jawab Reina yang mengikuti keputusanku.

    Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Mata kuliah kedua akan segera dimulai. Ternyata dosen bahasa Indonesia kali ini tidak dapat hadir, lalu diberikanlah tugas yang harus dikumpulkan melalui surel.

    Seperti biasa, saat dosen tidak ada, kelas langsung bubar. Aku, Reina, dan Senja juga bergegas pulang. Kali ini aku tidak pulang bersama mereka, karena aku masih kesal dengan omongan mereka tadi pagi.

    Hari mulai berganti malam, matahari sudah larut dalam langit yang mulai hitam. Aku yang saat itu segera mengerjakan tugas tiba-tiba tergoda dengan notifikasi dari instagram. Lalu, aku berencana membukanya sebentar.

    Lagi-lagi Reina dan Senja membuatku kesal. Senja mengunggah foto makan siang bersama Reina tanpa mengajakku, padahal katanya mereka akan langsung pulang siang tadi. Dengan keterangan foto yang panjang, Senja mendeskripsikan sosok Reina yang telah mentraktirnya makan siang di restoran bergengsi di Jakarta.

    “Makan siang aja pamer, gak ngajak aku lagi!” kataku dalam komentar foto itu.

    Beberapa menit kumeninggalkan komentar, tiba-tiba komentarku hilang. Sepertinya Senja telah menghapusnya. Langsunglah aku kirim pesan instagram kepadanya.

    “Apa maksudmu menghapus komentarku?” tanyaku marah.

    “Jangan membuat citra buruk di media sosial,” jawab Senja.

    “Kamu duluan yang memancing,” jawabku.

    “Kalau kita berkomentar tidak baik di media sosial, orang lain akan menganggap kita ini tidak baik. Kamu mau?” tanya Senja.

    “Nggaklah! Tapi untuk apa kamu pamer begitu, sengaja bikin aku tambah marah?” tanyaku yang masih kesal.

    “Hey, San. Tenanglah, aku tau kamu sedang marah. Tapi kemarahan bukan untuk diperlihatkan di media sosial, karena itu akan menimbulkan aura negatif oleh pembaca yang lain. Jadi aku minta maaf harus menghapus komentarmu itu,” jelas Senja.

    “Baiklah, tapi pamer di media sosial juga tidak baik, kamu tau itu ‘kan?” kataku tidak mau kalah.

    “Iya, baiklah, aku salah. Akan kuhapus fotonya,” jawab Senja.

    ”Bagus kalau begitu. Lalu mengapa kamu tidak mengajak aku tadi siang?” tanyaku.

    “Aku tidak yakin jika mengajak orang yang sedang marah untuk berdiskusi, maka dari itu ayolah redamkan emosimu. Besok akan kuajak kalian berdiskusi lagi sambil makan siang,” kata Senja.

    “Oke, kutunggu,” jawabku yang mulai tenang.

    “Baiklah,” balas Senja di penghujung percakapan kami.

    Setelah sedikit berdebat dengan Senja, aku mulai memikirkan tugasku. Dosen bahasa Indonesiaku memberikan tugas mencari beberapa berita untuk dianalisis dari segi bahasa. Ya, begitulah tugas mahasiswa jurnalistik.

    Di sela-sela keseriusanku menatap layar laptop, tiba-tiba pikiranku menyeleweng. “Tadi yang dikatakan Senja ada benarnya juga, kalau saja tadi komentarku dibiarkan oleh Senja, mungkin orang-orang akan berpikiran bahwa aku ini pemarah, masa ditinggal makan siang aja marah,” kataku dalam hati. Aku jadi merasa bersalah kepada Senja akibat sifat kekanak-kanakanku. Untuk itu aku akan beri hadiah kepada Senja besok pagi, teruntuk juga Reina.

    Setelah tugasku selesai, aku segera mencari hadiah di aplikasi daring, kukira memesan makanan tidaklah buruk. Kulihat di explore instagram, sepertinya orang-orang sedang membicarakan cheesecake. Itu lho, kue yang katanya teksturnya lembut dan lumer di mulut. “Kayaknya enak nih makan bareng Senja dan Reina,” kataku sambil melihat beberapa foto-foto cheesecake yang bertebaran di instagram. Lalu aku memesan pada satu akun yang alamatnya tak jauh dari rumah, agar cepat sampai dan bisa dibawa untuk besok.

    Malam yang mulai larut membuatku mengantuk. Ternyata melihat layar gawai membuatku kecanduan. Parahnya lagi, untuk mencari cheesecake saja aku sudah menghabiskan waktu selama 2 jam. Maklum, lihat satu foto, eh…. Jadinya buka foto yang lain, terus saja begitu sampai puas. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, waktunya aku segera tidur.

    (Bersambung)

    3 comments:

    1. Wahh ini cerpen yang diikutin lomba terus juara yaa? Baguuuss...

      ReplyDelete
    2. Aaaaa selalu suka sama cerita yang kamu bikin sederhana tapi bermakna loveeee ❤

      ReplyDelete
    3. Sesuai realita banget ya... bagus ni

      ReplyDelete