• Headline

    Jodhi Yudono : Ketua IWO yang Gemar Menyanyikan Puisi

    Foto/Nurnafisah. Potret Jodhi Yudono saat ditemui di acara Malam Indonesia Digdaya (22/2/2018) 


    Menjalani kariernya menjadi wartawan Indonesia menghantarkan Jodhi Yudono men­jadi Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO) menggantikan Budhi Chandra yang resmi mengundurkan diri sejak 12 April 2017. Ditemui pada acara Malam Indonesia Digdaya (22/2), pria kelahiran Cilacap, 16 Mei 1963 ini sedang tidak bertugas menjadi wartawan, melainkan mengisi acara tersebut dengan menyanyikan puisi bersama rekan-rekan senimannya.

    Sebelum dikenal di dunia jurnalistik, Bang Jodhi—nama akrab Jodhi Yudono—ternyata susudah menggeluti dunia seni sejak kuliah di Universitas Tujubelas Agustus (Untag) Semarang, dan mengambil Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Hal itu dibuktikan dengan keikutsertaan Jodhi dalam Teater 17 dan Teater Dhome, Semarang. Awal tahun 1990-an Jodhi hengkang ke Jakarta menekuni profesi barunya sebagai jurnalis. Hingga kini Jodhi menjadi wartawan tetapi tetap menekuni kemampuannya di bidang seni musik dan puisi. Simak wawancaranya bersama Koran KOTA.

    Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO)

    Sebagai Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO) Masa Bakti 2017-2022, apa alasan IWO dibentuk?

    Tahun awal berdirinya perusahaan-perusahaan online di Indonesia, media online masih menjadi warga ketiga baik dari perusahan maupun di masyarakat, sehingga ketika wartawan online datang kepada narasumber, biasanya lebih mendahulukan wartawan dari televise, radio, atau media cetak. Dari sinilah saya rasa wartawan online harus bisa diangkat martabatnya sebagai jurnalis, tidak boleh wartawan online disingkirkan terus menerus. Dari IWO ini kami bisa saling menguatkan dan saling mendukung satu sama lain demi terciptanya kesejahteraan. Sekarang sudah terbukti, media online menjadi garda terdepan konstelasi dalam dunia permediaan.


    Apakah ada unsur politik di dalam IWO menjelang musim Pilkada dan Pemilu?

    Saya selalu menekankan kepada rekan-rekan IWO untuk selalu menjaga indenpendensi wartawan. Tidak boleh terlibat dalam urusan politik, karena nanti kita menjadi tidak independen lagi dan sudah terkontaminasi kekuatan politik sehingga menjadi kelemahan kita. Saya berharap rekan-rekan IWO tetap menjadi watch dog (anjing penjaga) yang tetap menggonggong saat maling datang baik dari luar rumah atau dalam rumah sekalipun.

    Mendekati Pemilu Serentak, media online identik dengan banyaknya berita bohong (hoax) yang beredar demi kepentingan politik, bagaimana cara menanggulangi hal tersebut?

    Maka dari itu dengan adanya IWO ini saya pikir bisa menjadi tempat untuk saling menjaga, saling mengingatkan, dan meberantas berita bohong (hoax) tersebut. Sebelum melantik anggota IWO di beberapa daerah juga saya selalu meminta untuk diadakan pelatihan, meminta contoh tulisan dari setiap wartawan, kemudian dibahas dalam pelatihan tersebut sehingga setiap wartawan mampu mempelajari tulisannya masing-masing dan belajar untuk menulis lebih baik lagi. Alhamdulillah, dari situ kami sudah menyadari bahwa hoax adalah musuh kita bersama.

    IWO tersebar di seluruh Indonesia, bagaimana Anda mengatur wartawan di semua provinsi tersebut?

    Sekarang lebih mudah, bisa melalui pesan online melalui grup yang sudah dibuat. Walaupun sedikit pusing tapi nikmati saja.

    Sebelum terjun menjadi wartawan online, bapak juga turut serta menjadi wartawan media cetak. Adakah perbedaan dari keduanya mengenai indenpendensi?

    Sebeneranya sama saja. Tetapi semakin ke sini dunia jurnaistik itu semakin rentan karena pemilik medianya yang mengatasnamakan kesejahteraan wartawan. Terkadang dengan berbagai cara pemilik media ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya, bahkan ada saja wartawan yang digaji dibawah UMR dan disuruh untuk mencari uangnya sendiri. Dari sinilah IWO juga menekan pemilik media untuk menggaji wartawannya dengan layak.

    Usaha ekstrem apa yang pernah Anda lakukan untuk menjaga indenpensi wartawan?

    Saya pernah bertentangan dengan wartwan senior yang berpengaruh di Indonesia, ketika itu beliau mengatakan bahwa “amplop” untuk wartawan itu boleh, kemudian saya menulis Surat Pembaca di salah satu media, didalamnya saya menulis bahwa saya menentang kebijakan dia, sebab adanya amplop wartawan dapat menjajah indenpendensi kita. Itu upaya saya yang dilakukan secara pribadi.

    Sebagai wartawan online, biasanya hoax itu datangnya dari mana?

    Awal mula hoax muncul itu karena adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap media, karena menurut mereka media sudah terkontaminasi oleh dunia politik, bisnis, dan lain sebagainya. Sehingga berita-berita yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak menarik. Dari situlah muncul istilah Citizen Journalism yaitu pemberontakan masyarakat terhadap dunia media. Mereka bikin tulisan sendiri, disebar sendiri ke media sosial, mereka menulis sesuka hati tanpa paham dunia jurnalistik. Sebagai contoh, hal utama yang ahrus dilakukan wartawan adalah verifikasi. Itulah sebabnya mereka tidak tahu kebenarannya tetapi sudah langsung diunggah begitu saja.

    Jika wartawan IWO mengambil sumber dari media sosial yang belum teverifikasi, apakah sanksi yang didapatkan?

    Kalau sanksi dari dalam pastinya diingatkan. Kemudian wartawan tersebut harus menulis ulang berita yang sudah diverifikasi dan menjelaskan bahwa tulisan sebelumnya tidak benar. Kalau sanksi dari luar sendiri yaitu masyarakat pasti tidak akan percaya lagi dengan tulisannya.

    Adakah persyaratan khusus bagi yang ingin bergabung dengan IWO?

    Ada, pertama harus bekerja di media yang berbadan hukum. Kedua, harus memiliki kartu pers yang dikeluarkan medianya. Ketiga, harus memiliki kartu anggota IWO. Keempat, harus menyertakan contoh tulisan. Nantinya ada iuran anggota untuk mengikat, jadi dana yang digunakan mandiri dari wartawan IWO itu, tidak dari Negara atau manapun.

    Dengan adanya isu UU MD3, bagaimana kebebasan pers menurut Anda?

    Sebenarnya ini bagian dari perjalanan masyarakat Indonesia, yang kini mulai tidak dapat membedakan yang benar dan yang salah. Tetapi ingat saja semua peraturan kita mengacu pada UUD 1945, apabila ada yang tidak sesuai maka harus dipertanyakan. Menurut saya, hal-hal yang sifatnya menghalangi kebebasan berekspresi dan pendapat wajib dipertanyakan.

    Seni Puisi

    Sebagai pengisi Acara Malam Indonesia Digdaya, Anda sempat menyanyikan puisi karya teman Anda. Apa bedanya menyanyikan puisi dengan musikalisasi puisi?

    Musikalisasi puisi itu puisi yang diberi musik. Ragamnya banyak, ada puisi yang dinyanyikan, ada juga puisi yang diiringi musik saja, ada juga yang kontemporer dan lain sebagainya. Sedangkan menyanyikan puisi yaitu puisi yang dinyanyikan. Jadi sebenarnya saya hanya menyederhanakan musikalisasi puisi yang artinya meluas, dengan adanya istilah nyanyian puisi.

    Anda lebih suka mengkritisi melalui menulis berita atau puisi?

    Saya lebih suka menulisnya di kolom media cetak, namun akhir-akhir ini sedang tidak sering.

    Apa arti puisi menurut pandangan Anda?

    Puisi adalah kesimpulan dari apa yang terpikirkan. Sebenarnya menulis puisi lebih sulit daripada menulis cerpen, karena cerpen itu bisa diceritakan apa adanya, sedangkan dalam puisi kita harus menyimpulkan semuanya dengan pendek dan harus dikembangkan dengan estetika.

    Anda lebih dulu mendalami dunia puisi atau dunia jurnalistik?

    Saya lebih dulu ada di dunia puisi dan tulis menulis. Awal mulanya saat saya berada di Semarang. Lalu saya pergi ke Jakarta dan mencoba melamar kerja dan langsung di terima, akhirnya saya menetap di Jakarta pada tahun 1992.

    Menurut Anda, adakah persamaan wartawan dengan seniman?

    Ada. Wartawan menurut saya harus bisa paham dengan dunia seni dan harus banyak membaca. Karena dengan banyak membaca, tulisan wartawan akan menjadi lebih luwes dibandingkan dengan wartawan yang tidak mengenal seni, bahasanya akan kaku dan hanya menyampaikan data tanpa memberikan rasa.

    (NN/NURNAFISAH)

    2 comments: